Setiap lembaga pendidikan pasti memiliki cara yang berbeda dalam mendidik anak didiknya. Ada yang memilih dengan cara yang keras dan tegas atau mungkin dengan lemah lembut namun berkarakter. Setiap lembaga itu pasti akan berusaha dengan keras agar ciri khas atau karakter yang di miliki lembaga tersebut bisa tertanam pada jiwa anak didik mereka. Bukan hanya lembaga pendidikan saja yang bangga jikalau tujuan mereka itu sukses, namun secara pribadi para pengajar pun akan merasa senang dan bangga. Kenapa ?? Karena para pengajar inilah sebetulnya aktor di balik semua ini.
Baiklah kita ambil contoh kecil saja, pondok pesantren misalnya. Setiap pondok pesantren (disingkat "PonPes") memiliki cara mengajar yang berbeda-beda, ada mungkin yang lebih mengutamakan mahir dalam membaca kitab, atau mengutamakan aqidah saja, atau hanya mengutamakan hukum-hukum (fiqh) islam, bersyukur kalau ada PonPes yang memiliki ke-3 hal tersebut. Bukan hanya cara mengajar, namun cara berfikir pun berbeda-beda.
Terlepas dari itu semua, para asatidz (pengajar) lah yang memiliki peranan besar (ketika di PonPes) untuk membantu para santri (murid) atau lebih tepatnya mengarahkan menuju hari esok yang lebih baik (lebay.co.cc). Tetapi tetap yang memiliki peranan besar adalah orang tua dan lingkungan. Para asatidz ini akan bangga dan betul-betul akan bangga jikalau santri mereka yang dahulu ingusan telah menjadi alumni dan menjadi orang sukses dengan membawa nama PonPes dan nama asatidz seraya berkata "disinilah aku belajar dan merekalah (asatidz) yang membantu aku menjadi seperti ini". Senyum lebar (ketawa juga boleh) dan sedikit air mata bahagia akan terpancar dari wajah mereka.
Namun di balik senyuman itu mereka menangis sedih jikalau melihat mantan anak didiknya gagal bahkan telah melupakan apa yang telah di ajarkan semasa di PonPes. Yang dahulu shalat 5 waktu rajin ke masjid, lantunan ayat suci al-qur'an selalu terdengar dari mulut mereka, sekarang menjadi berubah drastis (360 derajat). Kata-kata kotor bahkan seluruh isi kebun binatang pun selalu menghiasi perkataan mereka. Gerakan sujud dan ruku' pun terasa asing bagi mereka. Rambut yang dahulu selalu tersisir rapi (entah ke masjid atau ketemu anak putri, haha...) ditambah dengan minyak rambut (urang-aring, red) seakan menjadikan mereka sebagai makhluk tuhan paling ganteng (tapi penulis tetap paling ganteng, haha...) sekarang berubah. Mereka tak lagi memikirkan penampilan, mereka lebih memilih membiarkan rambut terurai dan terbengkalai bahkan lebih senang kalau rambut itu menjadi "gimbal" ala bob marley. 1 botol, 2 botol miras (kata bang rhoma) sudah bukan pemandangan yang aneh lagi, kurang lengkap rasanya kalau belum di iringi dengan dentuman musik yang mampu membangunkan para warga se-RT (baca; keras). Segala accessories "kewanitaan" pun terpajang rapi di tubuh mereka, entah kalung, gelang maupun cincin (poko’e gak genah).
Lantas siapa yang akan disalahkan atas semua ini ?? lembaga yang dahulu menaunginya atau asatidz yang mengajarnya ?? ketika seseorang itu berlabel ”alumni” maka kita tidak bisa menyalahkan lembaganya (PonPes)nya dahulu atau asatidznya. Karena jelas sekali lembaga mana yang ingin menyesatkan atau mendidik santrinya menjadi buruk dan berandal ?? ketika mereka berlabel ”alumni” maka para asatidz dan lembaga tersebut tidak bisa mengawasinya sebagaimana ketika mereka masih menjadi santri. Permasalahannya sekarang mereka sama sekali tidak malu ketika harus berpenampilan seperti itu ketika menemui asatidznya walaupun hanya sebentar. Mungkin yang ada dalam benak mereka hanyalah ”dulu saya pernah bersekolah disini dan merekalah ustadz saya”. Apakah mereka sadar bahwa asatidz itu menangis jikalau melihat penampilan mereka ?? para asatidz memang senang bisa kembali bereuni dengan mantan anak didiknya namun disisi lain dalam hati mereka berkata ”itu bukanlah kami”. ”mereka memang mantan anak didik kami, namun itu bukanlah apa yang kami ajarkan dahulu”.
Waallahu a’lam
Baiklah kita ambil contoh kecil saja, pondok pesantren misalnya. Setiap pondok pesantren (disingkat "PonPes") memiliki cara mengajar yang berbeda-beda, ada mungkin yang lebih mengutamakan mahir dalam membaca kitab, atau mengutamakan aqidah saja, atau hanya mengutamakan hukum-hukum (fiqh) islam, bersyukur kalau ada PonPes yang memiliki ke-3 hal tersebut. Bukan hanya cara mengajar, namun cara berfikir pun berbeda-beda.
Terlepas dari itu semua, para asatidz (pengajar) lah yang memiliki peranan besar (ketika di PonPes) untuk membantu para santri (murid) atau lebih tepatnya mengarahkan menuju hari esok yang lebih baik (lebay.co.cc). Tetapi tetap yang memiliki peranan besar adalah orang tua dan lingkungan. Para asatidz ini akan bangga dan betul-betul akan bangga jikalau santri mereka yang dahulu ingusan telah menjadi alumni dan menjadi orang sukses dengan membawa nama PonPes dan nama asatidz seraya berkata "disinilah aku belajar dan merekalah (asatidz) yang membantu aku menjadi seperti ini". Senyum lebar (ketawa juga boleh) dan sedikit air mata bahagia akan terpancar dari wajah mereka.
Namun di balik senyuman itu mereka menangis sedih jikalau melihat mantan anak didiknya gagal bahkan telah melupakan apa yang telah di ajarkan semasa di PonPes. Yang dahulu shalat 5 waktu rajin ke masjid, lantunan ayat suci al-qur'an selalu terdengar dari mulut mereka, sekarang menjadi berubah drastis (360 derajat). Kata-kata kotor bahkan seluruh isi kebun binatang pun selalu menghiasi perkataan mereka. Gerakan sujud dan ruku' pun terasa asing bagi mereka. Rambut yang dahulu selalu tersisir rapi (entah ke masjid atau ketemu anak putri, haha...) ditambah dengan minyak rambut (urang-aring, red) seakan menjadikan mereka sebagai makhluk tuhan paling ganteng (tapi penulis tetap paling ganteng, haha...) sekarang berubah. Mereka tak lagi memikirkan penampilan, mereka lebih memilih membiarkan rambut terurai dan terbengkalai bahkan lebih senang kalau rambut itu menjadi "gimbal" ala bob marley. 1 botol, 2 botol miras (kata bang rhoma) sudah bukan pemandangan yang aneh lagi, kurang lengkap rasanya kalau belum di iringi dengan dentuman musik yang mampu membangunkan para warga se-RT (baca; keras). Segala accessories "kewanitaan" pun terpajang rapi di tubuh mereka, entah kalung, gelang maupun cincin (poko’e gak genah).
Lantas siapa yang akan disalahkan atas semua ini ?? lembaga yang dahulu menaunginya atau asatidz yang mengajarnya ?? ketika seseorang itu berlabel ”alumni” maka kita tidak bisa menyalahkan lembaganya (PonPes)nya dahulu atau asatidznya. Karena jelas sekali lembaga mana yang ingin menyesatkan atau mendidik santrinya menjadi buruk dan berandal ?? ketika mereka berlabel ”alumni” maka para asatidz dan lembaga tersebut tidak bisa mengawasinya sebagaimana ketika mereka masih menjadi santri. Permasalahannya sekarang mereka sama sekali tidak malu ketika harus berpenampilan seperti itu ketika menemui asatidznya walaupun hanya sebentar. Mungkin yang ada dalam benak mereka hanyalah ”dulu saya pernah bersekolah disini dan merekalah ustadz saya”. Apakah mereka sadar bahwa asatidz itu menangis jikalau melihat penampilan mereka ?? para asatidz memang senang bisa kembali bereuni dengan mantan anak didiknya namun disisi lain dalam hati mereka berkata ”itu bukanlah kami”. ”mereka memang mantan anak didik kami, namun itu bukanlah apa yang kami ajarkan dahulu”.
Waallahu a’lam
07.04
Atho' el_rahman

0 komentar:
Posting Komentar
silahkan anda berkomentar, namun tetap jaga kesopanan dengan tidak melakukan komentar spam.